Pencapaian target pertumbuhan ekonomi hingga 8 persen tentu bukan tugas yang mudah, apalagi di tengah kondisi ekonomi global yang penuh tantangan. Pada awal masa pemerintahannya, Prabowo Subianto memulai dengan angka pertumbuhan ekonomi yang berada pada kisaran 5 persen. Bahkan, saat estafet kepemimpinan beralih dari Presiden Joko Widodo pada kuartal terakhir, Indonesia mencatatkan angka pertumbuhan ekonomi tahunan sebesar 4,95 persen. Meski demikian, pemerintahan yang baru tetap berkomitmen untuk mendorong perekonomian agar terus tumbuh lebih cepat.
Sebagai langkah awal, pemerintahan Prabowo Subianto berfokus pada peningkatan investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Penanaman modal diharapkan dapat menjadi motor penggerak utama untuk mempercepat laju perekonomian Indonesia. Namun, yang membedakan kebijakan investasi kali ini adalah penekanan pada hilirisasi—yaitu pengolahan bahan baku atau sumber daya alam menjadi produk jadi dengan nilai tambah yang lebih tinggi. Hal ini diyakini akan memperkuat ekonomi Indonesia, karena hilirisasi dapat mengoptimalkan potensi sumber daya alam yang dimiliki negara.
Pemerintah pun mulai memprioritaskan hilirisasi sebagai bagian integral dari kebijakan ekonomi. Dalam rangka memperkuat fokus tersebut, terjadi perombakan struktural di kementerian yang terkait. Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) diubah menjadi Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM. Langkah ini menunjukkan keseriusan pemerintah dalam mewujudkan hilirisasi sebagai strategi utama dalam pembangunan ekonomi.
Meskipun hilirisasi bukanlah hal baru dalam kebijakan ekonomi Indonesia, langkah ini kembali ditekankan dalam pemerintahan Prabowo Subianto. Pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, khususnya pada periode kedua (2019-2024), hilirisasi juga menjadi kebijakan strategis yang signifikan. Salah satu contoh keberhasilan hilirisasi adalah kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang mulai berlaku pada 1 Januari 2020. Kebijakan ini memberikan dampak besar pada nilai tambah ekonomi Indonesia.
Berdasarkan data yang dilaporkan oleh Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM, nilai ekspor nikel saat larangan ekspor pertama kali diberlakukan pada tahun 2020 tercatat sebesar 3 miliar dolar AS. Namun, setelah melalui proses hilirisasi, nilai ekspor nikel dan produk turunannya melonjak drastis hingga mencapai 33 miliar dolar AS pada Desember 2023. Artinya, ada peningkatan nilai tambah sebesar sekitar seribu persen, yang mencerminkan betapa efektifnya kebijakan hilirisasi dalam menciptakan nilai tambah yang lebih tinggi.
Pemerintah juga melanjutkan kebijakan hilirisasi dengan larangan ekspor bauksit pada Juni 2023, dan kemungkinan larangan serupa dapat diberlakukan terhadap komoditas lain seperti tembaga dan mineral mentah lainnya. Langkah ini bertujuan untuk memastikan bahwa Indonesia tidak hanya menjadi negara eksportir bahan mentah, tetapi juga dapat meningkatkan daya saing dengan memanfaatkan proses pengolahan dan produksi dalam negeri.
Secara keseluruhan, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto berkomitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dengan mengutamakan investasi dan hilirisasi. Meski tantangan masih ada, langkah-langkah strategis yang diambil diharapkan dapat memberikan hasil yang optimal, bukan hanya untuk pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.