Web Fakta – Kasus perselingkuhan yang terjadi di Puncak Jaya, Papua Tengah, mencuri perhatian publik karena melibatkan konflik yang cukup rumit antara suami, istri, dan pihak ketiga. Cerita ini bermula ketika seorang pria meninggalkan istrinya untuk melanjutkan kuliah di luar daerah selama empat tahun. Selama kepergian suaminya, sang istri memutuskan untuk menjalin hubungan dengan pria lain. Ketika suami akhirnya kembali setelah selesai kuliah, ia mendapati kenyataan pahit bahwa istrinya sudah hidup bersama dengan lelaki lain.
Perselingkuhan ini memicu ketegangan yang tidak hanya melibatkan pasangan suami istri, tetapi juga keluarga dan warga setempat. Kasus ini semakin rumit ketika muncul perbedaan pendapat di antara pihak-pihak yang terlibat, yang menyebabkan munculnya konflik terbuka. Situasi tersebut akhirnya memerlukan intervensi dari pihak kepolisian setempat untuk menyelesaikan masalah yang semakin membesar.
Polres Puncak Jaya pun turun tangan untuk melakukan mediasi guna meredakan ketegangan dan mencari penyelesaian yang adil bagi semua pihak. Mediasi ini dipimpin oleh Briptu Fernando Usior, yang berusaha menenangkan situasi dengan memberikan pemahaman kepada warga tentang pentingnya menyelesaikan masalah ini secara baik-baik. Dalam mediasi tersebut, Briptu Usior menjelaskan kronologi kejadian, di mana sang suami pergi kuliah selama empat tahun, sementara sang istri yang tinggal di kampung merasa kesulitan untuk menghidupi diri dan anaknya. Karena itu, sang istri akhirnya menikah lagi dengan pria lain, yang kemudian menjadi sumber perselingkuhan tersebut.
“Jadi yang perempuan dia punya suami nih, dia kawin punya anak satu. Baru dia punya suami pergi kuliah lagi. Tamat sekolah selesai, pergi kuliah sampai 4 tahun,” kata Briptu Usior dalam video yang diunggah oleh channel Youtube KABUT MULIA. Ia menambahkan bahwa keadaan ini mempengaruhi sang istri, yang akhirnya mencari pria lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Mediasi antara pihak keluarga yang terlibat dalam kasus perselingkuhan ini berjalan cukup lama, namun akhirnya berhasil mencapai kesepakatan. Salah satu pihak yang menjadi korban mengungkapkan bahwa proses penyelesaian masalah ini dilakukan secara kekeluargaan dan melalui adat setempat. Dalam penyelesaian ini, pelaku laki-laki yang terlibat dalam perselingkuhan tersebut diwajibkan untuk membayar denda adat sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatannya.
Denda yang harus dibayar oleh pelaku adalah sebesar Rp200 juta, yang dianggap sebagai bentuk sanksi adat yang harus diterima. Meskipun jumlah tersebut terbilang besar, pihak keluarga korban menyatakan bahwa pembayaran denda ini dilakukan tanpa paksaan dan sesuai dengan kemampuan pelaku. “Ini keluarga kami di Puncak Jaya selesaikan masalah secara keluarga. Karena laki-laki satu sudah kawin tapi dia pergi ke luar ke Puncak Jaya, terus istrinya kawin dengan laki-laki lain. Terus kita selesaikan masalah secara adat,” ujar salah satu anggota keluarga.
Pihak keluarga juga menambahkan bahwa meskipun jumlah denda yang harus dibayar sangat besar, mereka berusaha untuk mengumpulkan uang sesuai dengan kemampuan pelaku, tanpa adanya tekanan. “Pembayaran denda, di pihak (pelaku) kasih ke kami Rp200 juta tapi kami kumpul sesuai dengan kemampuan,” lanjutnya, menunjukkan bahwa penyelesaian ini dilakukan dengan cara yang lebih bijak dan penuh toleransi.
Kasus perselingkuhan ini bukan hanya mengungkapkan sisi emosional dan pribadi para pihak yang terlibat, tetapi juga mencerminkan bagaimana adat dan tradisi masih memegang peranan penting dalam penyelesaian konflik di beberapa daerah di Indonesia. Dalam kasus ini, mediasi oleh pihak kepolisian berhasil meredakan ketegangan dan membantu semua pihak untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima bersama. Namun, sanksi adat yang dijatuhkan tetap menjadi pengingat bahwa perbuatan perselingkuhan bukan hanya merusak hubungan pribadi, tetapi juga membawa konsekuensi sosial yang harus dipertanggungjawabkan sesuai dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.